UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2009
EDUCATOR BURNOUT: BENARKAH BUKAN MASALAH SERIUS?
OLEH
A N T O N
Banyaknya tekanan yang dialami guru, baik secara internal maupun eksternal, membuat beberapa orang yang menjalani profesi ini menjadi rentan akan stres. Padatnya kelas, banyaknya kelas yang diajar, minimnya penghargaan, siswa yang susah diatur, atau problematika lainnya merupakan sedikit dari banyak masalah yang memicu kelelahan emosional dan kemudian menjadi burnout. Makalah ini menyoroti sebab akibat burnout dikalangan pendidik dan bagaimana mengatasinya secara efektif.
Profesi pendidik atau guru secara historis dilihat sebagai profesi yang sangat erat berhubungan dengan kasih sayang, kesabaran dan ketekunan. Sayangnya, terkadang kenyataan yang ada di dalam kelas membuat kegiatan mengajar menjadi sebuah pekerjaan yang penuh tekanan. Pada saat ini, para pendidik dituntut untuk mengatasi masalah sosial yang ada di masyarakat, yaitu menyiapkan para peserta didik menghadapi hidup yang sangat kompleks.
Dalam kegiatan mengajar sehari-hari, para pendidik mengahadapi banyak problematika yang menjadi tekanan tersendiri terhadap mereka. Pada dasarnya, manusia tidak dapat lari dari tekanan karena tekanan merupakan bagian dari kehidupan. Tekanan bisa didefinisikan sebagai respon fisiologis dan psikis terhadap apa yang terjadi pada seseorang, dan setiap individu mempunyai batas ambang untuk menerima tekanan yang datang dalam hidupnya.
Gold dan Roth (1993) menggambarkan bahwa profesi kependidikan masa kini dianggap mempunyai tiga hal negatif, yaitu tekanan itu sendiri, moral pendidik, dan rendahnya pandangan terhadap profesi pendidik. Di beberapa negara, persoalan tekanan di kalangan pendidik bukan lagi sekedar bahan kajian ilmiah, namun telah menjadi isu dalam media masa, seperti halnya yang terjadi di Malaysia pada tahun 1990an. Pada saat itu ada 75 guru yang meninggalkan profesi mereka di Serawak dengan alasan yang beragam, dan terkuak bahwa alasan-alasan yang mereka kemukakan bermuara dari tekanan yang mereka hadapi selama mengajar (Othman, 2003)
Banyak para pendidik yang menerima banyak tekanan menjadi pesimis terhadap apa yang mereka lakukan. Sebagai akibatnya, mereka tanpa sadar melahirkan sebuah perasaan negatif terhadap diri mereka sendiri, siswa yang diajar, dan profesi yang mereka jalani. Kian lama, perasaan tersebut menjadi sebuah perasaan kelelahan emosional kronis yang membuat apa saja yang mereka lakukan menjadi tidak positif. Imbasnya kinerja yang rendah, siswa yang terabaikan, dan hilangnya keinginan untuk melakukan rutinitas, apalagi berprestasi. Fenomena inilah yang dikenal dengan nama burnout.
Definisi burnout
Istilah burnout pertama kali diutarakan dan diperkenalkan kepada masyarakat oleh Herbert Freudenberger pada tahun 1973. Freudenberger adalah seorang ahli psikologis klinis pada lembaga pelayanan sosial di New York yang menangani remaja bermasalah. Ia mengamati perubahan perilaku para sukarelawan setelah bertahun-tahun bekerja. Hasil pengamatannya, ia laporkan dalam sebuah jurnal psikologi profesional pada tahun 1973 yang disebut sebagai sindrom burnout. Menurutnya, para relawan tersebut mengalami kelelahan mental, kehilangan komitmen, dan penurunan motivasi seiring dengan berjalannya waktu. Selanjutnya, Freudenberger memberikan ilustrasi tentang apa yang dirasakan seseorang yang mengalami sindrom tersebut seperti gedung yang terbakar habis (burned-out). Suatu gedung yang pada mulanya berdiri megah dengan berbagai aktivitas di dalamnya, setelah terbakar yang tampak hanyalah kerangka luarnya saja. Demikian pula dengan seseorang yang terkena burnout, dari luar segalanya masih nampak utuh, namun di dalamnya kosong dan penuh masalah seperti gedung yang terbakar tadi. Burnout merupakan suatu problem yang kemunculannya memperoleh tanggapan yang baik, sebab hal itu terjadi ketika seseorang mencoba mencapai suatu tujuan yang tidak realistis dan pada akhirnya mereka kehabisan energi dan kehilangan perasaan tentang dirinya dan terhadap orang-orang lain.
Guru dan burnout
Tanda awal burnout biasanya adalah timbulnya perasaan kelelahan secara emosional di tempat kerja. Lalu apakah kelelahan emosional itu? Ketika ditanya, para guru menggambarkan sebagai rasa “terkuras”, “lesu”, “kering ide” dan juga diikuti kelelahan fisik dan tanpa motivasi kerja.
Guru yang mengalami kelelahan emosional cenderung menutup diri dari teman kerja dan siswa. Mereka “membuat” apa yang disebut dalam ilmu psikologi sebagai “detached concern” yaitu menjadi sinis dan membatasi diri dari pergaulan.
Aspek lain dari burnout adalah perasaan rendahnya pencapaian atau prestasi. Di awal karir biasanya seseorang mempunyai pengharapan tinggi atau paling tidak memberi kontribusi kepada instansi atau institusi maupun masyarakat, namun setelah beberapa tahun, pengharapan itu tak kunjung datang sehingga menimbulkan frustasi.
Adanya beda visi dan cara kerja guru baru dan guru senior maupun institusi juga bias memicu cepatnya guru-guru baru mengalami burnout. Perbedaan-perbedaan tersebut diantaranya:
1. Ekspektasi yang tidak realistis dan ekstrimnya perbedaan antara apa yang di dapat pada training tau kuliah dengan kenyataan yang terjadi dilapangan.
2. Kebijakan dan prosedur institusi yang menyulitkan
3. Sumber daya yang tidak memadai untuk melaksanakan tugas dengan baik.
4. Rekan kerja maupun senior yang sulit diajak kerja sama.
5. Tidak adanya penghargaan terhadap guru yang sukses atau berprestasi.
Faktor Eksternal Pemicu Burnout
Sementara banyaknya atasan atau institusi yang menyalahkan penyebab burnout lebih pada karyawan sendiri, ternyata institusi pendidikan pun bisa sebagai pemicu burnout di kalangan guru. Beberapa penelitian menguak bahwa kurangnya kontrol otonomi pada seseorang juga menyumbang terjadinya burnout. Kontrol otonomi tersebut melibatkan persepsi guru terhadap pengaruh mereka pada pengambilan keputusan yang berkenaan dengan isu-isu yang terjadi seperti misalnya pengaturan jadwal, maupun pengambilan kebijakan-kebijakan yang secara langsung mempengaruhi lingkungan kerja.
Seharusnya, tanpa disadari bahwa peningkatan keterlibatan guru dalam proses pengambilan keputusan adalah sebuah cara efektif untuk mencegah stres atau paling tidak mengurangi efek-efek dari stress tersebut.
Ketiadaan support group yang efektif juga bisa memicu burnout. Support group adalah kelompok yang sengaja dibuat dengan kesadaran tinggi untuk meminimalisir terjadinya burnout. Support group yang efektif mencakup orang-orang yang menyediakan emosional comfort atau kenyamanan emosional, yang tidak mengkonfrontasi secara brutal jika guru bertingkah tidak sepantasnya, yang memberi dan menyediakan dukungan teknis problematika di tempat kerja, yang menyediakan bimbingan untuk pemulihan kepercayaan diri, yang befungsi sebagai pendengar aktif dan berbagi kepercayaan, persepsi terhadap realitas dan penyambung lidah bagi guru dan atasan.
Dukungan sosial dari rekan kerja turut berpotensi dalam menyebabkan burnout. Sisi positif yang dapat diambil bila memiliki hubungan yang baik dengan rekan kerja yaitu mereka merupakan sumber emosional bagi guru saat menghadapi masalah dengan siswa maupun atasan. Individu yang memiliki persepsi adanya dukungan sosial akan merasa nyaman, diperhatikan, dihargai atau terbantu oleh orang lain. Sisi negatif dari rekan kerja yang dapat menimbulkan burnout adalah terjadinya hubungan antar rekan kerja yang buruk. Hal tersebut bisa terjadi apabila hubungan antar mereka diwarnai dengan konflik, saling tidak percaya, dan saling bermusuhan (Sihotang, 2004)
Sejumlah kondisi yang potensial terhadap timbulnya konflik antar rekan kerja, yaitu:
(1) perbedaan nilai pribadi;
(2) perbedaan pendekatan dalam melihat permasalahan; dan
(3) mengutamakan kepentingan pribadi dalam berkompetisi.
Di samping dukungan sosial dari rekan kerja tersebut, dukungan sosial yang tidak ada dari atasan juga dapat menjadi sumber stres emosional yang berpotensi menimbulkan burnout. Kondisi atasan yang tidak responsif akan mendukung terjadinya situasi yang menimbulkan ketidakberdayaan, yaitu bawahan akan merasa bahwa segala upayanya dalam bekerja tidak akan bermakna. Sementara itu, penghargaan dan sanksi yang diterapkan ditempat kerja juga bisa dihubungkan sebagai pemicu burnout. Bagi banyak karyawan maupun guru, reward atau penghargaan dan sanksi atau hukuman dianggap sebagai pernyataan dari atasan mengenai baik buruknya pekerjaan mereka. Tekanan eksternal untuk mendapatkan penghargaan dari atasan sementara kapasitas kerja yang tak memadai bisa menjadi sumber utama burnout. Kahn dalam Cherniss (1980) mengemukakan bahwa adanya konflik peran merupakan faktor yang potensial terhadap timbulnya burnout. Konflik peran ini muncul karena adanya tuntutan yang tidak sejalan atau bertentangan. Contohnya: (1) seorang guru diharapkan untuk menerapkan disiplin kepada siswa namun di sisi lain ia harus memperlihatkan perasaan kasih sayang, perhatian, rasa humor agar suasana pembelajaran dapat tercipta secara baik, (2) guru-guru ingin agar siswa yang hiperaktif tetap dipertahankan di sekolah namun pihak yayasan sekolah meminta agar siswa yang berkelakuan seperti itu harus dikeluarkan dari sekolah, dan (3) sebagai pekerja sosial ia harus melakukan kerja lembur namun sebagai seorang ibu ia juga harus memperhatikan kebutuhan keluarga pula. Farber (1991) mengemukakan bahwa, ketidakpedulian, ketidakpekaan atasan, kurangnya apresiasi masyarakat dengan pekerjaan, kritik masyarakat, pindah kerja yang tidak dikehendaki, kelas yang terlalu padat, kertas kerja yang berlebihan, bangunan fisik tempat kerja yang tidak baik, hilangnya otonomi, dan gaji yang tidak memadai merupakan beberapa faktor lingkungan sosial yang turut berperan menimbulkan burnout.
Faktor Internal Penyebab Burnout: Latar Belakang dan Karakteristik Pribadi
Aspek lain pemicu burnout adalah faktor latar belakang atau pribadi. Faktor latar belakang misalnya jenis kelamin, umur, tingkat pendidikan, dan jenis dan tipe siswa yang diajar. Sementara karakter pribadi termasuk ekspektasi individu terhadap pekerjaan itu sendiri dan karakteristik kepribadian individu yang bersangkutan.
Umur pendidik atau guru menjadi faktor paling umum pemicu burnout. Guru yang lebih muda cenderung mengalami level kelelahan emosional dan fisik yang lebih tinggi. Schwab dan Iwenicki (1982) juga menemukan bahwa jenis kelamin guru dan level kelas yang diajar berhubungan dengan perasaan penyebab burnout. Guru laki-laki lebih punya sikap negatif terhadap siswa daripada guru wanita. Sementara guru yang mengajar siswa SMP dan SMA lebih punya sikap negatif terhadap siswa dan jarangnya punya perasaan puas terhadap pencapaian kerjanya dibandingkan guru yang mengajar di SD.
Faktor latar belakang yang telah dijelaskan tadi terbukti berhubungan sangat signifikan memicu burnout, faktor-faktor lain semisal status pernikahan, jenis komunitas yang diajar, tingkat pendidikan dan lamanya pengalaman mengajar terbukti tidak secara signifikan memicu burnout.
Faktor personal yang banyak disetujui para psikiater sebagai unsur utama pemicu burnout adalah ekspektasi terhadap apa yang ingin dicapai pada pekerjaan yang dijalani. Seperti yang dijelaskan sebelumnya, umumnya pendidik memasuki lapangan kerja dengan komitmen dan harapan bisa berkembang dan berubah ke arah lebih baik, ketika realitas terhadap apa yang dicapai tidak seperti harapan, beberapa guru beranggapan dia telah gagal dan menyalahkan diri sendiri, apalagi jika pindah atau mencari profesi lain bukan merupakan opsi.
Reflection : Mengenali Diri Apakah Terkena Burnout
Cherniss (1980) menyatakan bahwa ketika seseorang mulai memperhatikan tanda-tanda atau gejala-gejala burnout yang dinyatakan di dalam literatur, makna konsep burnout meluas lebih jauh. Karenanya, tanda dan gejala yang biasanya dikaitkan dengan burnout adalah sebagai berikut: (1) resistensi yang tinggi untuk pergi kerja setiap hari, (2) terdapat perasaan gagal di dalam diri, (3) cepat marah dan sering kesal, (4) rasa bersalah dan menyalahkan, (5) keengganan dan ketidakberdayaan, (6) negatifisme, (7) isolasi dan penarikan diri, (8) perasaan capek dan lelah setiap hari, (9) sering memperhatikan jam saat bekerja, (10) sangat pegal setelah bekerja, (11) hilang perasaan positif terhadap siswa, (12) menunda pekerjaan dan terkesan menjauhi masalah, (13) menyamaratakan orang atau siswa, (14) tidak mampu menyimak apa yang orang ceritakan, (15) merasa tidak aktif, (16) sinisme dan sikap menyalahkan, (17) gangguan tidur/sulit tidur, (18) menghindari diskusi mengenai pekerjaan dengan teman kerja, (19) asyik dengan diri sendiri, (20) mendukung tindakan untuk mengontrol perilaku, misalnya menggunakan obat penenang, (21) sering demam dan flu, (22) sering sakit kepala dan gangguan pencernaan, (23) kaku dalam berpikir dan resisten terhadap perubahan, (24) rasa curiga yang berlebihan dan paranoid, (25) pengunaan obat-obatan yang berlebihan, (26) konflik perkawinan dan keluarga, dan (27) sangat sering membolos.
Burnout mengkombinasikan fisik, emosi, dan mental, dan merupakan suatu keadaan yang sukar untuk keluar darinya. Kita tidak bisa mengatakan “Saya kena burnout hari ini tapi besok tidak lagi kok”. Seseorang yang secara fisik kelelahan setelah lari maraton, namun secara emosional gembira, tidak mengalami burnout. Demikian pula orang yang tertekan namun tetap nyaman di dalam bekerja, tidak mengalami burnout. Burnout tidak selalu terjadi pada setiap orang, karena ada perbedaan individual yang turut berpengaruh. Satu hal yang memiliki kontribusi besar terhadap timbulnya burnout, yaitu jika mereka merasa tidak bernilai, tidak dihargai, dan pekerjaan mereka merasa tidak berarti (Muslihuddin, 1999).
Tekanan pekerjaan (ketidakseimbangan antara sumber daya dan tuntutan) tidak harus menyebabkan kelelahan yang hebat, dan dengan penanganan yang berkaitan dengan burnout yang bersifat defensif. Artinya, walau kelelahan menghasilkan beberapa perubahan tingkah laku dan penderita melampiaskan terhadap siswa dan teman sejawat, hal itu belum tentu bahwa ia burnout. Tetapi secara umum, semakin besar dan semakin kronis stres dan semakin tidak berdaya seorang pekerja untuk mengubah situasi, besar kemungkinan burnout terjadi dan bisa semakin buruk (Cherniss, 1980).
Solusi Efektif Mengatasi Burnout
Terdapat berbagai cara efektif untuk mengatasi kejenuhan pada para pegawai pada suatu lingkungan kerja. Salah satunya adalah munculnya kesadaran pada diri para pucuk pimpinan bahwa dalam melaksanakan pekerjaannya, seorang pegawai banyak menghadapai berbagai problem yang bisa berdampak pada timbulnya sindrom burnout pada mereka.
Oleh karena itu, untuk mengatasi hal-hal tersebut hendaknya para pimpinan lapangan melakukan hal-hal sebagai berikut:
(1) menciptakan birokrasi yang tidak menimbulkan anggapan di mata pegawai bahwa para pembina yang bekerja di kantor, di manapun ia berkantor, tidak peduli dengan kesulitan mereka, atau bekerja untuk menghambat niat baik mereka. Tidak juga membuat pegawai merasa seolah-olah dipimpin dan atau dibina oleh mereka yang memiliki citra tidak kompeten, tidak efisien, kurang komitmen, kurang berminat terhadap hobi dan kegiatan kantor pada umumnya.
(2) melakukan pembinaan pegawai secara profesional, artinya lakukan serangkaian usaha bantuan kepada pegawai, terutama bantuan yang berwujud layanan profesional guna meningkatkan proses dan hasil pembinaan yang menggairahkan,
(3) melakukan hubungan profesional yang tidak kaku, yang akrab, yang tidak bersikap otoriter pimpinan, sehingga pegawai tidak takut bersikap terbuka kepada pimpinan. Dengan demikian, akan terjadi interaksi antara pegawai dengan pimpinan yang harmonis, sehingga pada gilirannya tersedia kesempatan untuk mengembangkan ke arah yang dapat menurunkan kemungkinan terjadinya burnout.
(4) melakukan dukungan sosial yang cukup bermakna kepada pegawai. Sebab dukungan sosial yang tidak kuat dari pimpinan dapat menjadi sumber stres emosional yang berpotensi terhadap timbulnya burnout. Jenis dukungan yang diharapkan pegawai ialah: (a) saran dari pimpinan dalam mengatasi masalah pekerjaan yang dihadapi pegawai, (b) kesediaan pimpinan untuk berempati terhadap perasaan-perasaan pegawai saat mengahadapi murid, wali murid dan masyarakat, (c) peran pimpinan dalam memberikan informasi yang berkaitan dengan pekerjaan dan promosi, (d) memberi contoh tingkah laku yang dapat dijadikan panutan ditempat kerja pegawai, (e) memberi umpan balik yang konstruktif terhadap kinerja pegawai
(5) melakukan kebijakan pembinaan yang dapat meningkatkan kepuasan kerja pegawai.
Selain itu, yang lebih penting dalam mencegah terjadinya burnout adalah usaha yang dilakukan para pendidik itu sendiri. Para pendidik haruslah waspada akan munculnya burnout. Sebab, selain merugikan diri sendiri, juga berdampak pada pekerjaan dan citra pegawai yang sampai hari ini perlu diperjuangkan. Untuk para guru, beberapa langkah di bawah ini bisa di terapkan untuk menghindari burnout.
1. Ekspektasi atau harapan
Sebagai guru atau pendidik, kita punya ekspektasi atau pengharapan, baik terhadap siswa, guru lain, administrasi, maupun orang tua siswa. Tentu saja beberapa hal tidak akan sesuai seperti yang diharapkan karena kita tidak bisa membuat senang semua orang setiap waktu, maka:
a. Buatlah batasan dan pengharapan yang tegas dengan siswa ataupun orang tua siswa, maksudnya bahwa apa yang diharapkan orang tua siswa kadang tidak terkabul, atau sebaliknya.
b. Tegas dengan siswa, kalau perlu bilang “Tidak” sebagai kalimat lengkap jika mendapati siswa mulai mencari celah-celah kelemahan kita.
c. Jangan berharap setiap hari akan berjalan lancar terus, sehingga kita bisa mengantisipasi yang bakal terjadi.
d. Minta kepada TU klarifikasi jika tidak yakin apa yang mereka inginkan untuk kita lakukan.
e. Harus fleksibel, jika apa yang tidak diharapkan terus datang, maka kita punya rencana cadangan.
2. Manajemen waktu
1. Gunakan periode perencanaan untuk bekerja, bukan untuk bersosialisasi.
2. Pertimbangkan untuk memeriksa tugas-tugas siswa di sekolah atau di dalam kelas bersama-sama untuk menghindari menumpuknnya pekerjaan.
3. Jika jam istirahat, gunakan untuk bersosialisasi dengan kolega atau ngobrol ringan dengan para siswa.
4. Bagi guru baru, turut serta dalam aktifitas sekolah bisa membuat “sense of connection”, namun jangan terlalu banyak karena bisa membuat kelelahan ketika mengajar.
5. Jika sudah terlalu banyak tugas yang diemban, hindari tanggung jawab yang secara realistik tidak bisa dipegang.
3. Support atau dukungan
Pilihlah seorang mentor. Penelitian membuktikan bahwa ini bisa menjadi faktor utama untuk menghindari burnout pada guru baru.
- Temukan seseorang yang gayanya anda kagumi
- Seringlah bertanya dan minta nasehat darinya.
- Terapkan apa yang terlihat baik untuk dilakukan
- Jangan mengisolasi diri, temukan waktu untuk bersosialisasi dengan kolega lain juga (arisan, mungkin)
- Jika perlu, berikan sumbangan berarti (misalnya jika pintar piranti lunak) kepada TU.
4. Kedisiplinan
- Buatlah ekspektasi yang realistis dan konsisten dengan respon yang didapat.
- Jika mendapati ada siswa yang bermasalah dengan disiplin, jangan ragu bertanya dengan guru-guru lain karena para guru adalah satu tim, seorang guru tidak bisa menyelesaikan banyak tugas sendirian.
- Ingatlah bahwa siswa punya latar belakang berbeda-beda yang mengakibatkan mereka bertindak berbeda pula di sekolah atau di dalam kelas.
5. Keseimbangan
- Mengajar adalah profesi, bukan hidup anda, maksudnya ada banyak hal-hal lain yang bisa dilakukan diakhir pekan atau liburan.
- Kejar atau lakukan apa yang menjadi minat di luar kerja.
- Jangan memberikan semua waktu dan energy untuk pekerjaan sehingga orang-orang tercinta menjadi terabaikan.
- Coba untuk menghindari membawa pekerjaan ke rumah (walau agak sulit jika datang waktu mengisi raport), jika tak ada pilihan lain, jangan korbankan waktu berharga untuk keluarga.
6. Self-care
- Jauhi orang-orang yang punya sikap negatif (misalnya orang-orang yang bilang “sudahlah, guru-guru lain juga begitu”)
- Ingat, tidak ada orang yang sempurna.
- Carilah waktu untuk latihan fisik atau sekedar mencari keringat.
- Karna sering bergaul dengan anak-anak, jangan sampai lupa bergaul dengan orang-orang dewasa.
- Jangan lupa sarapan sehat tiap pagi.
- Banyak tersenyum dan humor bisa sangat bermanfaat untuk kesehatan dan mengajar di kelas, jadi jangan terlalu serius.
- Sabar dengan diri sendiri juga sangat penting.
Kesimpulan
Menjawab pertanyaan apakah burnout di kalangan pendidik merupakan masalah serius atau tidak, tentu saja jawabannya adalah burnout bisa menjadi masalah serius jika dibiarkan berlarut-larut. Burnout yang dialami tiap guru, jika memang ada, berbeda-beda tingkatannya. Menyadari bahwa kita sendiri mengalami burnout tentu sangat berguna, dan keinginan untuk lepas dari burnout adalah kunci keberhasilan untuk memerangi situasi ini.
Di samping keinginan individu itu sendiri, perhatian atasan juga diperlukan. Atasan maupun rekan kerja harus peka terhadap beberapa orang yang memperlihatkan gejala burnout. Diagnosa terhadap apa yang mereka rasakan dan alami harus dilakukan dengan pendekatan yang personal dan dengan komunikasi dua arah. Umumnya, mereka yang mengalami gejala burnout ingin didengar, sehingga cara efektif untuk “menarik” mereka dari gejala ini adalah bersikap terbuka dan membiarkan mereka mencurahkan apa yang dirasakan.
Kerjasama yang baik antar guru atau pendidik, atasan yang peka akan keinginan dan harapan bawahan, lingkungan dan fasilitas yang menunjang proses pembelajaran merupakan harapan semua guru, namun jika yang diimpikan tersebut jauh dari harapan dan mendatangkan tekanan, sangatlah bijak untuk mencari cara bagaimana menjadikan tekanan yang datang sebagai sebuah tantangan yang bisa memicu kinerja yang baik bahkan berprestasi, bukan malah menyerah dengan keadaan.
REFERENSI
Cherniss, Cary. 1980. Staff Burnout-Job Stress in the Human Services. London: Sage Publications, Beverly Hills.
Farber, Barry A., Crisis In Education: Stress and Burnout in the American Teacher, San Francisco: Jossey-Bass Publishers.
Gold, Y. and Roth, R. A. 1993. Teachers Managing Stress and Preventing Burnout : the
Professional Health Solution. London: The Falmer Press.
Othman, Mohd Razali. 2003. Strategi Menangani Tekanan Di kalangan Guru-guru Sekolah Menengah Zon A Di Bahagian Kuching/Samarahan, Sarawak: Satu Tinjauan. Malaysia. Universiti Malaysia Sarawak
Pines, Ayala and Aronson, Elliot. 1989. Career Burnout: Causes and Cures, New York: The Free Press, A Division of Macmillan, Inc.
Muslihuddin. 1999. Fenomena Kejenuhan (Burnout) Dikalangan Pegawai Dan Cara Efektif Mengatasinya. Available on : http://www.lpmpjabar.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=166&Itemid=316
Schwab, R.L., & Iwanicki, E.F., & Pierson, D.A. 1983. Assessing rote conflict and role ambiguity: A cross validation study. Educational and Psychological Measurement. Available on : www.pdfgeni.com
Sihotang, Imelda Novelina. 2004. Burnout pada Karyawan Ditinjau dari Persepsi terhadap Lingkungan Kerja Psikologis dan Jenis Kelamin. Palembang: Universitas Bina Darma Palembang. www.pdfgeni.com
Pines, Ayala and Aronson, Elliot. 1989. Career Burnout: Causes and Cures, New York: The Free Press, A Division of Macmillan, Inc.
Muslihuddin. 1999. Fenomena Kejenuhan (Burnout) Dikalangan Pegawai Dan Cara Efektif Mengatasinya. Available on : http://www.lpmpjabar.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=166&Itemid=316
Schwab, R.L., & Iwanicki, E.F., & Pierson, D.A. 1983. Assessing rote conflict and role ambiguity: A cross validation study. Educational and Psychological Measurement. Available on : www.pdfgeni.com
www.pdf-search-engine.com
www.pdfgeni.com
0 feedbacks:
Post a Comment